Saturday, February 25, 2017

"Kenapa Lo Putus?"

Buat orang-orang yang pacarannya lama  lama banget sampe temen sekolah - kuliah - kerja tau pacar kalian siapa, pertanyaan basa-basi yang hampir pasti terlontar setiap ketemu temen lama adalah:

"Eh, lo masih sama si X, nggak?"

Pertanyaan yang sebenarnya wajar banget. Dengan catatan, hanya kalau yang ditanya memang masih bareng. Sebaliknya, mungkin mengganggu buat yang udah putus. Udah lama berlalu, eh ada aja yang nanyain. Situasinya bisa jadi canggung. Ada yang jadi keinget dan sedih lagi, atau malah kesel karena nggak suka bahas-bahas masalah itu lagi. 

Seiring bertambahnya umur, yang mungkin bikin saya tambah dewasa, cara saya menghadapi masalah juga berubah. Termasuk masalah yang satu ini. Mungkin jaman abege dulu, dikit-dikit curhat sama temen. Lagi masa PDKT, curhat. Berantem dikit, curhat. Putus, curhat. Sekarang saya sadar, setidaknya menurut saya sendiri, nggak semua hal harus dibagi, bahkan sama temen deket sekalipun.

Putus cinta nggak pernah mudah, apalagi buat yang baru masuk umur 20-an. Saat temen-temen sebaya sibuk posting foto lamaran dan nikahan di media sosial, eh, tau-tau putus. Bukan iri karena ingin segera nikah juga, tapi, yah..... sedih mengingat nanti ketika datang giliran kita untuk posting hal yang sama, orang yang ada di sisi kita bukan yang kita bayangkan selama ini. Karena se-nggak-serius-serius-amat-nya pacaran di umur segitu, ada lah 1-2 kali melibatkan pacar di rencana masa depan. Terlebih setelah untuk waktu yang cukup lama, yang kita lihat hanya dia seorang.



Ada waktu di mana kita nggak bisa menanggung sedihnya sendirian. Di saat hal itu terjadi pada saya, saya memilih untuk membagi beban saya ke satu orang sahabat yang bisa saya percaya, dan menutup rapat-rapat sisa cerita itu setelahnya.

Apa itu artinya saya membeda-bedakan sahabat, dan nggak percaya sama sama sahabat-sahabat yang lain?

Nggak. Nggak sama sekali.

Tapi bagi saya cerita sama satu orang, yang paling tau kondisi saya dari awal sampai akhir, udah cukup untuk membuat saya merasa lega. Lebih dari itu, rasanya menceritakan kisah sedih yang sama berulang-ulang nggak ada nilainya.

Sayangnya, nggak semua orang bisa mengerti keadaan itu. Nggak jarang jawaban pertanyaan pertama tadi, memancing rentetan pertanyaan berikutnya:

"Yah, kok bisa putus? Kan sayang udah lama.."
"Kenapa sih putusnya?"
"Ceritain dong, penasaran nih!"

Ada yang nanya karena sekadar penasaran, ada juga yang benar-benar peduli. Wajar sih nanya, wajar banget. Yang mengganggu, ketika yang nanya nggak bisa dikasih pengertian kalo kita memilih untuk nggak membagi cerita itu. Udah dibilang kalo kita nggak mau cerita, eh yang nanya ngotot ngorek-ngorek lebih jauh.

Sekali lagi, nggak cerita bukan berarti nggak percaya.

Tapi memang nggak semua hal perlu kita tau. Masalah orang terdekat kita sekalipun. Mengertilah bahwa orang lain bisa jadi nggak nyaman, bahkan sedih, kalo kita terlalu ingin tau.

Kita nggak pernah tau apa yang dilalui orang lain. Bagi si penanya, cerita itu mungkin sekadar memuaskan rasa penasarannya. Lalu, gimana dengan yang ditanya? Bisa jadi dia udah melewati masa yang sulit sampai akhirnya bisa keliatan baik-baik aja. Diminta mengingat dan menceritakan lukanya lagi, apa dia masih akan baik-baik aja?

Setiap orang punya alasan untuk nggak membagi ceritanya.

Dalam hal ini, alasan saya adalah saya ingin menjaga perasaan orang lain....... dan perasaan saya sendiri.

Ini juga jadi reminder bagi saya.

Jangan mengorek-ngorek luka orang lain, demi memuaskan rasa penasaranmu saja.

3 comments: