Thursday, February 9, 2017

Cerita Secangkir Kopi


Lagi, saya mengunjungi salah satu kedai kopi bersama teman-teman saya.

Bukan karena saya sangat suka kopi, tapi mungkin kedai kopi salah satu tempat paling nyaman buat ngobrol-ngobrol santai.

Sebenarnya saya malah nggak suka kopi. Buat saya, yang enak dari kopi cuma aromanya. Ya, kalau coffee latte atau frappuccino, boleh lah. Yang manis dan rasa kopinya nggak terlalu kuat.

Saya kenal seseorang yang sangat suka minum kopi.

Entah sejak kapan, sering kami duduk ngobrol sambil ngopi. Dia suka kopi hitam, pahit dan pekat. Sesekali dia juga pesan coffee latte dan frappuccino, tapi hampir selalu diakhiri komentar, "terlalu manis". Kadang dia menawarkan saya untuk nyicip kopinya. Enak, katanya. Tapi ya jelas saja buat saya nggak enak.

Anehnya, ngopi bareng dia malah jadi salah satu momen favorit saya. Duduk berhadapan, ngobrol tentang banyak hal, mulai dari yang serius sampai nggak penting, ditemani aroma kopi. Selera kami yang beda nggak jadi masalah. Momen disuruh nyobain kopi pahit (yang setengah dipaksa), atau saya yang inisiatif nambahin gula ke minumannya, saya ingat sebagai kenangan yang menyenangkan.

Nggak, saya nggak mau bilang, "kopi yang pahit bisa terasa manis kalau minumnya sama dia".

Kopi ya kopi, pahit.

Tapi andai saja orang-orang dengan perbedaan bisa berjalan berdampingan, tanpa saling menyakiti. Sesederhana saya dan dia yang bisa duduk bersama di meja kedai kopi.

Saya jadi ingat ada yang pernah bilang, "everybody is double standard when it comes to those whom they care about".

Ketika kita melihat perbedaan pada orang lain, dalam hal apapun, seringkali kita bersikap defensif atau langsung menghakimi. Nggak jarang kita menyakiti orang lain hanya karena dia berbeda. Tapi ketika perbedaan itu ada pada orang yang kita sayangi, kita cenderung lebih toleran dan mau berusaha mengenali perbedaan itu. Setelah mengenali, kita mengerti. Setelah mengerti, kita memahami. Dan setelah memahami, kita menerima. Menerima bahwa semua orang diciptakan istimewa, dan perbedaan harusnya nggak (selalu) jadi masalah.

Ada benarnya kata orang dulu, tak kenal maka tak sayang. Sayangnya, banyak orang memutuskan berhenti bahkan sebelum berusaha mengenal. Nggak salah memang, karena itu manusiawi. Namun sebagai manusia, rasanya saya nggak ingin jadi bagian dari orang-orang tersebut. Kenapa?

Karena rasanya disingkirkan karena dianggap berbeda itu menyakitkan.

Sementara kadang menjadi berbeda itu bukan pilihan dan nggak bisa diubah.

Lagi-lagi saya teringat apa yang saya dengar,

Di dunia ini masih banyak orang baik.
Kalau kamu merasa dunia ini kekurangan orang baik,
maka jadilah salah satunya.

Banyak cara menjadi baik. Memahami perbedaan adalah salah satu cara yang ingin saya pilih. Setidaknya, jangan sampai saya menyakiti orang lain hanya karena kami berbeda.

No comments:

Post a Comment