Thursday, December 31, 2015

Tentang Menjaga Silaturahmi

Beberapa hari lalu saya membaca post salah seorang teman dekat di media sosial tentang silaturahmi, yang cukup membuat saya kepikiran. Isinya begini:

"Yang dulunya deket sekarang jauh, tapi yang dulunya jauh sekarang jadi deket. Ngejaga silaturahmi sesusah itu ternyata."

Saya tersindir. Saya sadar, saya juga orang seperti itu.

Setiap denger cerita teman yang habis ketemu sama teman-teman lama mereka, saya suka mikir, enak ya, temenannya awet. Masih nyambung lagi obrolannya. Saya langsung inget teman-teman lama dan penasaran kabar mereka. Tapi saya tanya nggak? Nggak. Ketemu orang pun gitu. Kalau nggak sengaja ketemu orang yang pernah saya kenal, bahkan pernah dekat, saya ragu mau nyapa mereka. Kalau mereka nggak nyapa duluan, ya saya juga diem aja. Bahkan kalau saling sapa, biasanya saya cuma senyum lebar dan bilang, "Hai, (namanya)!" sambil melambaikan tangan, nggak nyamperin. Lalu kadang waktu saya buka-buka isi hp lama, atau post lama di media sosial, saya agak kaget dan mikir, "Lho, gue pernah sedeket ini ya sama dia? Kok sekarang nggak lagi ya..."

Pertanyaan yang muncul selanjutnya, "Emang gue pernah ngehubungin mereka?" Jawabannya, lagi-lagi, "Nggak, sih...".

Sunday, September 13, 2015

Bogor, 9 September 2015

Hari itu merupakan hari yang istimewa bagi saya. Ya, karena hari itu saya diwisuda. Sejak pukul empat pagi saya dirias, untuk kemudian mengenakan kebaya ungu pastel cantik jahitan mama.

Awalnya saya sempat kecewa karena ketika yang lain datang bersama keluarga besarnya, saya hanya ditemani mama dan kakak tertua saya. Papa sudah pergi mendahului kami setahun sebelumnya, dan kakak-kakak yang lain, yang tadinya berencana cuti untuk datang, mendadak tidak bisa datang. Tapi saya tidak membiarkan perasaan-perasaan itu merusak hari bahagia saya. Prosesi sederhana ini, memindahkan tali topi toga dari kiri ke kanan, adalah puncak dari perjuangan saya menyelesaikan pendidikan sarjana sejak empat tahun ke belakang.

Mungkin hanya sepuluh detik. Tidak lebih dari sepuluh detik saya berjalan ke atas panggung dan bersalaman dengan rektor, dengan foto saya terpampang di layar besar, diiringi narasi:

"Murni Anggraeni. Dari keluarga Mulyadi. Sangat Memuaskan."

Kemudian diiringi tepukan tangan dari sesama wisudawan dan tamu undangan, tanda mengapresiasi karena mungkin kami sama-sama mengerti bahwa sepuluh detik kami ini terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Papa sayang, kalau Papa lihat ini, aku yakin Papa pasti bangga.