Sunday, June 24, 2018

A Weekend Getaway in Jogja

Liburan kali ini agak berbeda dibandingkan liburan-liburan saya sebelumnya.

Awalnya memang sempat kepikiran pingin jalan-jalan, tapi nggak tau mau ke mana, kapan, dan sama siapa. Waktu ngobrol iseng soal liburan dengan seorang teman, ternyata teman saya ada rencana ke Jogja dan ngajak gabung. Nah, karena pas ada teman dan bertepatan dengan Art Jog 2018, tanpa pikir panjang saya beli tiket ke Jogja untuk long weekend di awal bulan Juni kemarin.

Selain rencana liburannya yang impulsif, ini juga pertama kalinya saya 'backpacking'. Karena berangkatnya sepulang dari kantor dan harus naik commuter line, saya maksain bawa barang yang cukup banyak di ransel berkapasitas 25L biar nggak ribet. Alhasil tasnya gendut banget sampai kayak mau robek dan akhirnya ketika ketemu di stasiun Gambir saya mindahin sebagian barang di tas teman saya. Hahaha.

Day 1

Berangkat dengan kereta malam, kami tiba di Jogja pukul setengah lima pagi. Dengan pertimbangan jalanan Jogja yang pasti akan macet, dari stasiun kami menyewa motor untuk dua hari. Setelah bersih-bersih dan istirahat sebentar di kosan adik teman saya (karena belum waktunya check-in), kami langsung menuju rumah sahabat saya di Klaten.

Awalnya hanya mau mampir sebentar sebelum ke Museum Ullen Sentalu dan kemudian city tour di Jogja, tapi sayangnya pagi itu ada berita Gunung Merapi 'batuk' lagi.  Alhasil kami harus mengurungkan niat kami ke Ullen Sentalu dan memilih jalan-jalan di Klaten dulu saja. Nggak banyak pilihan yang bisa kami kunjungi karena kami nggak berminat ke Umbul Ponggok maupun umbul-umbul lainnya, tapi jalan-jalan di daerah Karanglo saja cukup membuat kami senang. Hamparan sawah dan rumput yang hijau, pohon-pohon yang rindang, dan tiupan angin segar yang sepoi-sepoi sudah lama nggak kami nikmati sejak pindah ke Tangerang dua bulan lalu.


Los Tembakau yang jadi salah satu instagramable spot di Klaten 
A candid shot in "Hutan" Kamboja Klaten
Kami juga sempat mampir di masjid raya Klaten yang cukup megah dan cantik. Sore harinya, kami berencana mengunjungi Sangkring Art Space atau Taman Sari. Sayangnya karena mengantuk, agenda ini batal juga dan akhirnya langsung check in di salah satu hostel di kawasan Malioboro. Karena menginap sendirian, hostel jadi pilihan yang lumayan oke dan makin berasa jadi backpacker beneran. Saking ngantuknya, saat menunggu buka puasa saya malah ketiduran sampai malam. Hahaha.

Malamnya, kami memutuskan untuk makan malam di Nanamia Pizzeria. Ini salah satu restoran Italia semi-outdoor favorit teman saya karena nyaman dan makanannya enak. Benar saja, saya langsung suka karena tempatnya cantik sekali. We ordered pizza, lasagna, strawberry lassy, and a kind of ginger mint drink. Semuanya enak! Porsinya yang cukup banyak bisa kami habiskan tanpa sisa. Pelayanannya baik dan harganya juga nggak mahal. Lain kali kalau ke Jogja saya pasti mampir ke sini lagi.


Setelah makan, kami bisa ngobrol-ngobrol dengan nyaman sebelum akhirnya pindah ke salah satu tujuan utama kami di Jogja: Tempo Gelato. Saya suka sekali cone-nya dan rasa gelato yang saya pilih hampir tidak pernah mengecewakan. Kali ini pilihannya jatuh pada salted caramel & snickers dan mint & chocolate, yang jadi penutup yang manis untuk jalan-jalan kami di hari pertama.


Day 2

Sekitar jam 7 pagi, kami berkendara menuju Bantul untuk melihat kebun bunga matahari yang sedang mekar. Nggak seperti yang saya bayangkan, ternyata kebun bunganya bukan kebun bunga yang besar, melainkan kumpulan kebun bunga kecil-kecil dengan pengelola yang berbeda-beda. Pengunjung cukup membayar lima ribu rupiah untuk masuk satu kebun. Meskipun bunganya nggak sebanyak yang saya bayangkan, karena mungkin memang bukan musimnya, tamannya tetap terlihat cantik dan nggak membuat saya menyesal datang ke sini.




Dari Bantul, kami awalnya berniat melihat pameran seni oleh teman adiknya teman saya di sebuah galeri di ISI. Sayangnya ketika kami sampai di sana, kosong. Padahal jelas-jelas di invitation-nya tertulis kalau Sabtu Minggu pamerannya tutup tapi kami nggak ngeh. Hahaha. Ya sudah deh, kami langsung menuju Pasar Beringharjo untuk membeli batik.

Selesai berbelanja, kami menuju Museum Affandi. Museum Affandi ini terdiri dari 3 galeri, galeri I dan II berisi karya Sang Maestro dari awal ia berkarya hingga akhir masa hidupnya sementara galeri III memamerkan karya-karya keluarganya. Di museum ini juga terdapat menara yang bisa dgunakan untuk melihat pemandangan seluruh bagian museum, jalan raya di sekitar, dan sungai Gajah Wong. Untuk mengelilingi museum ini, wisatawan domestik cukup membayar 25 ribu rupiah per orang dan tambahan 20 ribu rupiah jika membawa kamera. Biaya tersebut sudah termasuk soft drink yang bisa ditukarkan di akhir tur. Pengunjung akan diberikan brosur yang sekilas menceritakan sosok Affandi serta ada tour guide di masing-masing galeri yang akan menjelaskan jika pengunjung ingin tahu lebih dalam tentang karya-karyanya.




Dari Museum Affandi, kami melanjutkan perjalanan ke agenda utama kami: Art Jog, festival, pameran, dan pasar seni rupa kontemporer yang rutin digelar setiap tahun. Ini pertama kalinya saya ke Art Jog, jadi saya sangat excited untuk datang kesana. Saya sendiri nggak ngerti seni, tapi menikmati melihat-lihat karya seni. Jogja National Museum hari itu terlalu padat yang akhirnya membuat kami kurang leluasa. Meski begitu, saya tetap menikmati jalan-jalannya dan dibuat kagum dengan karya-karya yang dipamerkan di sana.



The most beautiful installation art: Sea Remembers

Kami memutuskan untuk beristirahat di hostel sebentar sambil menunggu waktu berbuka puasa. Setelah makan malam di dekat Alun-alun Utara Jogja, saya kembali mencari gelato. Atas rekomendasi adiknya teman saya, kami bertiga memilih Artemy Italian Gelato. Rasa yang saya pilih adalah bubble gum dan white forest. Gelato di Artemy berbeda dengan yang di Tempo. Menurut saya rasanya lebih light. Meskipun sama-sama enak, saya tetap lebih suka Tempo Gelato.

Terakhir, kami menutup malam dengan makan di Sate Klatak Pak Bari yang legendaris. Sate klatak ini adalah sate kambing yang ditusuk dengan jeruji sepeda, yang katanya membuat dagingnya matang dengan merata. Saya memesan seporsi sate yang disajikan dengan kuah gulai dan juga kicik, tongseng tanpa kuah. Meskipun kenyang, saya bisa menghabiskan semuanya karena memang enak banget. Menjelang tengah malam saya kembali ke hostel dan siap-siap untuk pulang keesokan paginya.


Capek? Banget! Apa lagi kami jalan-jalan saat sedang bulan puasa. Yang tadinya mau sahur di luar hostel pun batal saking ngantuknya. Tapi saya puas karena bisa jalan-jalan ke banyak tempat meski cuma punya waktu dua hari. This weekend getaway successfully recharged my energy. Looking forward for another trip soon. See you again, Jogja!

Tuesday, December 12, 2017

A Gift Called Kindness

Rezeki itu bentuknya nggak selalu materi. Bisa apa saja. Dalam bentuk kasih sayang dari teman-teman yang baik hati, misalnya.

Salah satu hal yang saya syukuri setiap hari adalah dikelilingi orang-orang yang berhati baik dan sangat suportif, baik itu keluarga maupun teman. Kalau diingat-ingat, entah berapa banyak kebaikan yang mereka lalukan buat saya, sampai saya kadang terharu dan mikir, "what have I done to deserve them?". :') (iya, saya se-melankolis itu orangnya)

Bisa dibilang, 2017 ini bukan tahunnya saya. Dalam setahun rasanya banyak yang berubah, tapi juga tidak. Dunia di sekitar saya berubah, bergerak cepat, tapi saya seperti diam di tempat. Rasanya apapun yang saya kerjakan akhir-akhir ini nggak ada yang beres.

"I'm not good at anything."
"I'm below people's expectation."
"I wish I had his/her life..."

Pikiran semacam itu sempat terus menghantui. Puncaknya, ketika saya (lagi-lagi) gagal mendapatkan pekerjaan yang sangat saya inginkan, saya kecewa sampai ingin berhenti berusaha. Rasanya pengen ngilang aja untuk sementara.

Untungnya saya memilih untuk melakukan sebaliknya. I pretend to be a happy-go-lucky person as I always do, until I'm getting used to it. Saya tetep pergi main,  ketemu teman-teman, dan ngelakuin hal-hal yang saya suka. Awalnya cuma biar orang-orang terdekat saya nggak khawatir, tapi ternyata itu pilihan yang paling benar karena ketemu orang-orang yang baik bisa ngasih energi yang positif.

Tuesday, December 5, 2017

Stepping Out of Comfort Zone: (Surprisingly) NOT That Scary

Di suatu siang, hari Sabtu beberapa minggu yang lalu, saya mendapat telepon dari Yogo, salah satu teman dekat saya saat kuliah. Dia menawarkan saya untuk ikut salah seorang dosen kami menghadiri seminar di hari Selasa dan bantu-bantu sebagai translator. “Nggak susah, kok. Ada seminar berbahasa Inggris. Tugas lu mendampingi FGD (focus group discussion) dan bantu translate waktu sesi tanya jawab.” Awalnya dia yang diminta ikut, katanya. Tapi dia berhalangan hadir dan kalau saya mau, dia akan merekomendasikan saya.

Tawaran dari Yogo ini nggak cuma sekali dua kali sebenarnya. Maklum dia memang aktif di kampus dan kenal banyak dosen, jadi sering diminta cari orang untuk acara-acara tertentu. Tapi saya nggak pernah mau. Nggak pede aja. Dalam hati, saya sering mikir “Nggak ah, nanti bingung ngomong apa.” “Duh, kayaknya gue nggak sepinter itu buat ikut-ikut acara begitu.” “Kayaknya bahasa Inggris gue nggak bagus-bagus amat.” Atau, sesederhana, “yah, temen-temen se-geng nggak ikut. Nggak deh.”

But, no, not that day.

Entah kesambet apa, hari itu walau masih setengah yakin, saya iya-kan tawaran Yogo. Rasanya saya udah terlalu betah ada di zona nyaman yang pada akhirnya bikin saya nggak bisa melakukan apa-apa. Ini kesempatan yang bagus banget buat belajar, apa lagi dosen yang dimaksud adalah salah satu dosen favorit kami, Pak Andri. Beliau ini super ramah dan menyenangkan diajak ngobrol ini-itu.

Senin pagi, saya janjian sama Pak Andri yang menawarkan untuk berangkat bersama ke venue, Hotel Aston Simatupang, untuk meeting dengan perwakilan dari Advance Consulting dan Wageningen University and Research, Belanda. Di perjalanan saya sedikit tanya-tanya tentang acara yang akan saya hadapi besok. Singkatnya, Indonesia dan Belanda telah melakukan kerja sama di bidang keamanan pangan dan peternakan selama beberapa tahun terakhir. DIFS-Live, namanya, singkatan dari Dutch-Indonesia Programme on Food Security, Poultry, and Dairy Sector. Dan seminar ini adalah seminar penutup untuk melaporkan temuan dan hasil dari kegiatan mereka beberapa tahun terakhir.

Monday, July 24, 2017

Sunday Well Spent (Gunung Pancar, Bogorian Flower, dan Kuki Store & Cafe)

Belakangan ini akhir pekan saya mulai ngebosenin. Kalau biasanya keponakan-keponakan saya datang menginap di Sabtu-Minggu, sekarang mereka lebih sering datang justru di hari biasa atau dua minggu sekali. Alhasil  seringnya saya cuma leyeh-leyeh di rumah atau nemenin Mama beli stok buah di supermarket.

Makanya, saya excited banget waktu teman saya ngajak jalan-jalan untuk foto-foto. Namanya Mahdy, salah satu teman se-geng saya waktu SMA. Dokter magang di salah satu rumah sakit di Bogor ini akhir-akhir ini lagi suka fotografi dan butuh model buat ngelatih skill-nya. Saya sih senang-senang aja ikut jalan-jalan dan jadi punya stok foto Instagram. Hehe.

Sabtu malamnya saya, Mahdy, dan Ines (teman se-geng juga) udah sempat ke Ah-Poong, Sentul untuk cari spot foto yang bagus. Sayangnya karena hujan jadi nggak maksimal, lalu tercetuslah ide dadakan untuk jalan-jalan lagi di hari Minggu. Ines nggak bisa ikut karena ada urusan lain.

Minggu pagi menjelang siang, kami menuju Gunung Pancar, Sentul. Sama-sama nggak pernah ke sana sebelumnya, tapi tempatnya cukup mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi dipandu GPS. Setengah jam kemudian kami sudah sampai dan cukup membayar sekitar tiga puluh ribu rupiah untuk dua orang dan satu mobil. Selain hutan pinus, katanya di sana ada camping ground, penyewaan hammock, dan pemandian air panas. Foto-fotonya yang berseliweran di Instagram juga bagus, jadi kebayang tempatnya akan bagus banget. Ternyata....... lho, tempatnya gini doang?

Dari area piknik, nggak banyak yang bisa diliat. Literally hanya hutan pinus dan hammock yang banyak digantung di beberapa spot, malah terkesan berantakan menurut saya karena jaraknya terlalu berdekatan. Mungkin bagian yang bagus ada di lokasi camping ground, tapi nggak ke sana karena nggak tau jalan. Tapi berhubung udah jauh-jauh ke sini, kami tetap semangat menyusuri hutan pinus menjauhi area yang ramai sampai akhirnya ketemu satu tempat bagus! Lumayan repot sih harus manjat dulu untuk naik batu yang besaaar banget dan hari itu saya salah pilih sepatu. Hahaha. Sebenarnya kemarin itu mendung seharian. Tapi pas banget waktu kami di atas, mataharinya tiba-tiba cerah. Walau cuma di satu tempat, cukup puas karena hasilnya bagus-bagus.



Nggak sampai satu jam di sana, kami kembali ke Bogor. Mahdy ngajak ke Bogorian Flowers untuk beli bunga dulu. Ini florist yang terhitung baru dan dia penasaran banget karena kayaknya bagus. Tempatnya ternyata nggak besar. Kami disambut dengan keramahan pemiliknya dan Kang Asep, yang merangkai bunganya. Pilihan kami jatuh ke bunga lily, krisan, dan baby’s breath. Di tangan Kang Asep, rangkaian bunga warna merah muda dan putih dibalut dengan hiasan warna hitam, merah muda, dan silver. Cantik banget! Bunganya segar, rangkaiannya rapi dan cantik, harganya juga nggak mahal. Go to their page to see more! (Bogorian Flowers)

Btw, baru sadar bunga lily secantik dan seharum itu! I think it's gonna be my favorite ♥

Dari sana, kami menuju Kuki Store & Cafe. Udah cukup lama saya penasaran sama cafe ini, tapi saya nggak suka tempat yang terlalu ramai dan berisik, jadi tunggu dulu deh sampai orang-orang bosen dulu. Sesuai harapan, kali ini tempatnya udah nggak terlalu ramai walau kami datang di jam makan siang. Kami duduk di area indoor yang nyaman dan memesan Creamy Chicken Fettuccine, Kuki Meatball, Gelato, Cafe Latte, dan Mochaccino. Kami cukup mengeluarkan uang sekitar 180 ribuan untuk makanan dan minuman yang semuanya enak itu. Rasanya mau balik lagi ke sini untuk mencicipi menu yang lainnya. Di sini juga ada fasilitas wi-fi yang cepat jadi makin betah untuk berlama-lama. Selain itu, tempatnya juga cantik banget! Berhubung sepi, kami bebas mengeksplorasi semua sudut cafe untuk berfoto.


Suka banget semua foto yang diambil di Kuki hari itu. Selain tempatnya yang memang cantik, Mahdy-nya juga sih yang jago motretnya. Padahal saya nggak fotogenik, pose dan ekspresi saya juga kaku dan gitu-gitu aja. Untungnya dia sabar ngarahin. Saya juga diajarin supaya bisa fotoin dia balik. Lumayan kok, ada beberapa hasil jepretan saya yang bagus di antara banyaknya foto blur. Hahaha. Tapi segitu udah kemajuan lho buat saya, sayang nggak punya foto dia jadi nggak bisa pamer di sini. Hihi.


Overall, senang banget jalan-jalan akhir pekan kemarin! Ternyata nggak perlu jalan jauh-jauh, di Bogor pun masih banyak tempat seru yang bisa dikunjungi. Semoga lain kali ada kesempatan jalan-jalan lagi. :)

(P.S: all photos in this post are taken and edited by @mahdyalief)

Saturday, February 25, 2017

"Kenapa Lo Putus?"

Buat orang-orang yang pacarannya lama  lama banget sampe temen sekolah - kuliah - kerja tau pacar kalian siapa, pertanyaan basa-basi yang hampir pasti terlontar setiap ketemu temen lama adalah:

"Eh, lo masih sama si X, nggak?"

Pertanyaan yang sebenarnya wajar banget. Dengan catatan, hanya kalau yang ditanya memang masih bareng. Sebaliknya, mungkin mengganggu buat yang udah putus. Udah lama berlalu, eh ada aja yang nanyain. Situasinya bisa jadi canggung. Ada yang jadi keinget dan sedih lagi, atau malah kesel karena nggak suka bahas-bahas masalah itu lagi. 

Seiring bertambahnya umur, yang mungkin bikin saya tambah dewasa, cara saya menghadapi masalah juga berubah. Termasuk masalah yang satu ini. Mungkin jaman abege dulu, dikit-dikit curhat sama temen. Lagi masa PDKT, curhat. Berantem dikit, curhat. Putus, curhat. Sekarang saya sadar, setidaknya menurut saya sendiri, nggak semua hal harus dibagi, bahkan sama temen deket sekalipun.

Putus cinta nggak pernah mudah, apalagi buat yang baru masuk umur 20-an. Saat temen-temen sebaya sibuk posting foto lamaran dan nikahan di media sosial, eh, tau-tau putus. Bukan iri karena ingin segera nikah juga, tapi, yah..... sedih mengingat nanti ketika datang giliran kita untuk posting hal yang sama, orang yang ada di sisi kita bukan yang kita bayangkan selama ini. Karena se-nggak-serius-serius-amat-nya pacaran di umur segitu, ada lah 1-2 kali melibatkan pacar di rencana masa depan. Terlebih setelah untuk waktu yang cukup lama, yang kita lihat hanya dia seorang.


Thursday, February 9, 2017

Cerita Secangkir Kopi


Lagi, saya mengunjungi salah satu kedai kopi bersama teman-teman saya.

Bukan karena saya sangat suka kopi, tapi mungkin kedai kopi salah satu tempat paling nyaman buat ngobrol-ngobrol santai.

Sebenarnya saya malah nggak suka kopi. Buat saya, yang enak dari kopi cuma aromanya. Ya, kalau coffee latte atau frappuccino, boleh lah. Yang manis dan rasa kopinya nggak terlalu kuat.

Saya kenal seseorang yang sangat suka minum kopi.

Entah sejak kapan, sering kami duduk ngobrol sambil ngopi. Dia suka kopi hitam, pahit dan pekat. Sesekali dia juga pesan coffee latte dan frappuccino, tapi hampir selalu diakhiri komentar, "terlalu manis". Kadang dia menawarkan saya untuk nyicip kopinya. Enak, katanya. Tapi ya jelas saja buat saya nggak enak.

Anehnya, ngopi bareng dia malah jadi salah satu momen favorit saya. Duduk berhadapan, ngobrol tentang banyak hal, mulai dari yang serius sampai nggak penting, ditemani aroma kopi. Selera kami yang beda nggak jadi masalah. Momen disuruh nyobain kopi pahit (yang setengah dipaksa), atau saya yang inisiatif nambahin gula ke minumannya, saya ingat sebagai kenangan yang menyenangkan.

Nggak, saya nggak mau bilang, "kopi yang pahit bisa terasa manis kalau minumnya sama dia".

Kopi ya kopi, pahit.

Tapi andai saja orang-orang dengan perbedaan bisa berjalan berdampingan, tanpa saling menyakiti. Sesederhana saya dan dia yang bisa duduk bersama di meja kedai kopi.

Saya jadi ingat ada yang pernah bilang, "everybody is double standard when it comes to those whom they care about".

Ketika kita melihat perbedaan pada orang lain, dalam hal apapun, seringkali kita bersikap defensif atau langsung menghakimi. Nggak jarang kita menyakiti orang lain hanya karena dia berbeda. Tapi ketika perbedaan itu ada pada orang yang kita sayangi, kita cenderung lebih toleran dan mau berusaha mengenali perbedaan itu. Setelah mengenali, kita mengerti. Setelah mengerti, kita memahami. Dan setelah memahami, kita menerima. Menerima bahwa semua orang diciptakan istimewa, dan perbedaan harusnya nggak (selalu) jadi masalah.

Ada benarnya kata orang dulu, tak kenal maka tak sayang. Sayangnya, banyak orang memutuskan berhenti bahkan sebelum berusaha mengenal. Nggak salah memang, karena itu manusiawi. Namun sebagai manusia, rasanya saya nggak ingin jadi bagian dari orang-orang tersebut. Kenapa?

Karena rasanya disingkirkan karena dianggap berbeda itu menyakitkan.

Sementara kadang menjadi berbeda itu bukan pilihan dan nggak bisa diubah.

Lagi-lagi saya teringat apa yang saya dengar,

Di dunia ini masih banyak orang baik.
Kalau kamu merasa dunia ini kekurangan orang baik,
maka jadilah salah satunya.

Banyak cara menjadi baik. Memahami perbedaan adalah salah satu cara yang ingin saya pilih. Setidaknya, jangan sampai saya menyakiti orang lain hanya karena kami berbeda.

Sunday, January 15, 2017

A Glimpse of My 2016

Di penghujung tahun 2016, beberapa hal besar terjadi dalam hidup saya. Ada yang sangat membahagiakan, tapi ada pula juga yang sangat memilukan. Kedua hal tersebut sangat berkebalikan, namun sama-sama memberikan pelajaran baru buat saya.

Hal yang terlihat nggak mungkin ketika cuma dipikirin, ternyata bisa jadi sangat mungkin ketika dijalanin.

Saat itu, saya pikir rencana saya tahun ini benar-benar nggak akan berjalan mulus. Saya merasa nggak mampu menyelesaikan apa yang saya telah mulai, namun di saat bersamaan juga sadar, saya bukan sekedar nggak mampu. Saya juga kurang berusaha. Sayangnya kesadaran itu muncul hampir terlambat, nggak banyak waktu tersisa sementara PR saya masih banyak.

Beruntungnya, saya dikelilingi orang-orang yang sangat suportif. Meskipun dibumbui banyak drama, semua berakhir sesuai dengan yang diharapkan. Nggak henti-hentinya saya bersyukur atas nikmat-Nya ini.

Hal kedua yang saya pelajari adalah

sekuat apapun kita berusaha dan sekeras apapun kita berdoa, ada hal-hal yang memang tidak ditakdirkan untuk menjadi milik kita.

Semua orang tau bahwa jodoh, rezeki, hidup, dan matinya seseorang sudah ditetapkan oleh-Nya. Namun saya percaya bahwa manusia boleh berusaha. Mungkin jika kita berusaha dan berdoa lebih keras, Tuhan akan berbaik hati mengabulkan keinginan kita.

Nyatanya,
benar bahwa usaha juga mempengaruhi hasil,
namun Dia lebih tau mana yang baik bagi kita.

Selama enam tahun saya memulai dan memelihara sesuatu yang saya yakini baik bagi saya. Sesuatu yang sangat berharga dan sangat saya sayangi, yang kalau boleh, nggak ingin saya tukar dengan apapun. Meski begitu sejak awal saya mencoba bersikap realistis, meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang saya punya saat ini bisa hilang begitu saja, kapan saja.

Tapi sebaik apapun saya mempersiapkan diri, saya nggak pernah benar-benar siap. Mungkin pada awalnya, ketika semuanya tiba-tiba benar-benar hilang, saya bisa menerimanya. Namun seiring berjalannya waktu timbul rasa kecewa, sedih, dan marah yang sulit untuk dijelaskan. Menangis menjadi satu-satunya pelampiasan. Ingin rasanya menemukan sesuatu untuk disalahkan, tapi nggak ada yang benar-benar salah. Ingin rasanya berusaha, tapi nggak ada hal tersisa untuk diusahakan.

Terlalu dini untuk bilang ikhlas, karena mungkin saya belum sepenuhnya merelakan. Namun beruntung bahwa seiring berjalannya waktu pula, saya bisa mengerti. Mengerti bahwa seburuk apapun caranya, selalu ada maksud baik dalam setiap hal yang terjadi dalam hidup kita.

Setidaknya saya tidak menyesal karena sudah berusaha, dan saya bersyukur karena sempat memiliki enam tahun yang berharga itu.

Terakhir,
saya juga belajar bahwa membenci lebih sulit daripada memaafkan.

Saya pikir mudah saja membenci orang lain yang sudah menyakiti kita; membuat rencana mengganggu dan membuatnya nggak tenang seumur hidup, atau minimal memaki di depan wajahnya.

Tapi, nggak, nyatanya memaafkan jauh lebih mudah.

Bukan karena dia berhak mati dengan tenang kelak, tapi karena kita berhak bahagia.

Karena untuk apa buang-buang energi memikirkan hal yang bikin kita marah, membuat rencana balas dendam menyakitkan yang mungkin nggak akan pernah terealisasi, sementara yang di seberang sana masih tidur dengan nyenyak setiap malam? Jangankan minta maaf, merasa bersalah pun mungkin nggak. Lalu buat apa membiarkan kebencian merusak hari-hari kita yang harusnya damai?

Jadi, ya, itulah bagian dari 2016 saya.

Bagian yang semoga saja membuat saya semakin dewasa dan semakin baik.

I feel grateful for both the most heartwarming and heart wrenching moments in 2016.
It’s okay..
Time heals all wounds.
Everything’s gonna be okay. :)