Friday, December 2, 2016

Review: Amara Professional Hair Straightener

Sebelum mulai review, mau cerita sedikit ya...

Beberapa bulan lalu, saya sempet review catokan TCS dari Innovation Store. As I said before, produknya memang bagus banget. Sayangnya kemarin ada pengalaman nggak enak soal layanan purna jualnya.

Jadi, catokan saya berfungsi dengan baik, cuma agak seret jepitnya. Karena masih garansi, dibawa sama mama ke tempat belinya (Innovation Store Botani Square Bogor) dan katanya pernya yang rusak. Produknya itu akan dikirim dan diservis di Jakarta, jadi mesti nunggu agak lama dan akan dihubungi lagi untuk ngambilnya. Hampir dua bulan ga ada kabar, saya iseng mampir ke store-nya pas lagi ke Botani. Ternyata...... tutup. Tutup permanen alias udah nggak ada lagi.

Karena itu weekend, saya nunggu Senin untuk ngehubungin mereka. Udah berkali-kali coba telepon, kirim e-mail, dan Facebook fan page official-nya, nggak ada yang nyambung. Website-nya udah nggak bisa dibuka, cabangnya di Margo City Depok pun udah nggak ada. Nggak tau ya kalo yang di Jakarta, udah males nyari tau. Entah mereka bangkrut atau apa, tapi kurang ajar banget sih nggak tanggung jawab sama barang milik konsumen, apalagi barang yang mereka jual nggak murah. Percuma punya produk bagus tapi pelayanan jelek. Jadi, ya, jangan beli produk apapun dari mereka (kalau masih ada).

Nah, mari mulai review-nya!

Monday, July 11, 2016

DIY Face Mist

Akhir-akhir ini saya lagi suka baca blog atau nonton video di YouTube tentang skin care routine dan makeup routine. Dari sekian banyak yang saya lihat, banyak orang yang pakai face mist untuk sekedar melembabkan kulit maupun sebagai setting spray. Rata-rata pake merek Avene atau Evian. Penasaran, sih, tapi agak mahal buat saya. Masalahnya kulit saya sensitif, seringnya nggak cocok pakai produk ini itu. Sayang uangnya. Yang udah ketahuan sih alergi fragrance, tapi pernah juga gatal-gatal meskipun produknya fragrance free. Akhirnya, saya memutuskan untuk bikin facial mist sendiri.

Monday, June 20, 2016

Hari Ayah

Hari ini, sosial media diramaikan dengan post mengenai hari ayah.

Kebanyakan isinya foto seseorang dengan ayahnya, lengkap dengan judul 'Happy father's day!'.

Melihat foto-foto tersebut membuat saya ikut tersenyum. Kalau biasanya anak gengsi mengungkapkan rasa sayangnya ke orang tua, di hari ayah atau ibu kayaknya semua orang nggak mau kalah mamerin kasih sayangnya ke orang tuanya. Lagipula, apa lagi hubungan yang lebih manis daripada hubungan orang tua dengan anak? :)

Saya sendiri bukan tipe orang yang ngerayain hari ayah maupun hari ibu, sih. Tapi, dalam hati kadang pengen juga ikut posting. Sayangnya saya nggak punya foto berdua sama papa. Mau bikin baru juga nggak mungkin, karena ini tahun kedua kami tanpa papa.

Saya nggak pernah ngira papa akan pergi secepat itu. Ya, pernah, sih, karena papa memang sakit sejak lama dan sering banget bilang mungkin umurnya nggak akan sampai di angka 60. Tapi sampai sebelum papa akhirnya nggak ada, setiap malam saya berdoa supaya papa panjang umur dan selalu sehat.

Setidaknya sampai saya lulus kuliah.
Tidak, setidaknya sampai saya menikah.
Atau, sampai papa melihat cucunya yang terakhir.
Kalau bisa, sampai saya sukses bisa memberikan apa saja yang papa mau. Jadi papa bisa merasakan hari tua dengan nyaman, ternyaman sedunia.

Saya belum siap. Tapi rupanya Tuhan sangat sayang papa dan nggak membiarkannya merasakan sakit lebih lama. Dan rupanya kita nggak akan pernah siap dengan kehilangan, karena bahkan semua orang, berapapun umurnya, juga menangis ketika orang tuanya meninggal, dan menyesal karena merasa belum memberikan yang terbaik.

Saya sendiri juga punya penyesalan.

I do regret that we didn't talk too much like we used to, and we argued for too many little things.

But I'm so grateful that I could spend my childhood waiting for him at 4pm in front of our house, ran to him when he's coming, then he'd hold me and I'd proudly say "Ini papaku" to everyone, every single day.

I had chance to kiss & hug him every time I went out & came home for 21 years.

Yah, penyesalan itu wajar dan nggak bisa dihindari. Yang bisa kita lakukan hanya menghargai waktu kita bersama mereka selama mereka masih ada, menunjukkan rasa sayang kita, tanpa gengsi.

I love you, Pa.
Kalau waktu bisa diulang,
Aku akan bilang itu setiap hari.
Kalau perlu, jutaan kali.

Tuesday, May 24, 2016

Jalan-Jalan, Yuk!

"Travel is the only thing you buy that makes you richer."

Saya bukan seorang traveler, sih, tapi saya suka jalan-jalan dan setuju sama kalimat di atas. 

Jaman masih sekolah, dibandingin temen-temen yang lain, saya paling nggak boleh ke mana-mana. Selain study tour yang resmi dari sekolah atau makrab setahun sekali, nggak ada ceritanya liburan jauh sama temen-temen. Sama keluarga pun nggak pernah, karena Papa bukan orang yang suka jalan-jalan. Sama sekali. Sampai akhirnya waktu kuliah semester 4, Papa mulai melunak dan akhirnya ngasih lampu hijau buat saya pergi liburan sendiri.

Liburan pertama saya itu ke Bali sama Ica, temen SMA yang sama juga ga pernah ke mana-mana. Bermodalkan browsing sana-sini, kami pergi liburan berdua aja di bulan Juni 2013. Itinerary yang agak berantakan, nyetir ke mana-mana sendiri mengandalkan aplikasi Waze, pengalaman water sport pertama, kuliner khas daerah, sampai insiden nyebur di pantai yang menelan korban tiga buah handphone..... Such an amazing experience. It was priceless.

Saturday, April 16, 2016

Review: Tourmaline Ceramic Styler

Beberapa hari  ini saya sempet kerepotan karena catokan kesayangan rusak. Berhubung belakangan ini saya baru mulai memperhatikan penampilan, catokan jadi terasa penting banget supaya rambut selalu keliatan rapi.

Selama ini saya pake punya mama, Tourmaline Ceramic Styler (TCS) dari Innovation Store. Umurnya udah 8 tahun dan baru sekali diservis sebelum akhirnya rusak, dari harganya masih 800 ribu sampai sekarang udah di atas dua juta. Awet banget, kan?

Setelah baca review sana-sini, sebenernya tergiur banget untuk coba merk lain kayak Stylerush atau Glampalm. Apalagi bentuknya juga keliatan lebih handy dan lebih cantik dari TCS. Tapi karena mama nyaranin beli yang pasti-pasti aja, dan kebetulan ternyata lagi ada sale, akhirnya beli catokan yang sama lagi deh.


Sunday, January 24, 2016

Menjadi Konsisten

Bagian yang paling susah dalam mengerjakan sesuatu adalah memulai.

Sebagai seorang deadliner, saya setuju sih. Rasanya susah maksain diri ngerjain sesuatu, yang mungkin sebenarnya gampang, tanpa nyari-nyari alasan buat nunda. Setiap ada tugas kuliah, bahkan ujian, bahannya hampir selalu disentuh H-1. Padahal saya orangnya nggak bisa begadang. Apapun yang terjadi, selalu tidur jam sembilan ke bawah. Mending bangun pagi-pagi buta, deh, daripada harus begadang. Jadi sering juga baru belajar atau ngerjain tugas pagi-pagi di hari H. Beruntungnya otak saya punya kemampuan yang cukup untuk diajak bekerja under pressure. Semuanya lewat dengan hasil yang nggak jelek. Malahan, saking terbiasanya, saya sering buntu kalau ngerjainnya nggak pas lagi kepepet. Tapi karena udah makin dewasa, dan  tanggung jawab yang harus diselesaikan nggak lagi cuma tugas kuliah dan soal ujian, saya udah mulai meninggalkan kebiasaan tadi dan belajar nyicil ngerjain sesuatu.

Selama kuliah, saya jadi sadar satu hal: bagian paling susah dalam mengerjakan sesuatu bukan memulai, tapi menyelesaikan apa yang sudah dimulai.

Masa-masa kuliah, menurut saya, adalah pertama kalinya kita dituntut untuk bertanggung jawab sama diri sendiri. Kalau waktu sekolah semuanya masuk bareng-bareng dan lulus bareng-bareng juga, waktu kuliah kita sendiri yang nentuin kapan kita lulus. Siapapun pasti pernah ngerasa bosan, capek, atau kesusahan. So many pressures and, yes, it’s not easy. Pernah juga sampai mikir: am I capable enough?

Tapi setelah semuanya selesai, ternyata saya bisa juga melewati semuanya dengan mulus dan baik-baik aja.

Saya jadi inget waktu ngeluh bingung ke dosen pembimbing skripsi. Saya ngerasa saya nggak sepinter itu buat ngerjain satu topik. Jawaban beliau? "Kamu nggak bingung. Kamu cuma kurang membaca."

Sebel nggak digituin? Saat itu, iya. Ngerasa nggak dikasih solusi. Tapi setelah saya baca terus bahan dari beliau, walaupun awalnya nggak ngerti-ngerti, saya jadi tau omongan beliau itu bener. Kuncinya memang 'cuma' konsisten.

Ngerasa nggak bisa? Belajar.
Bingung harus mulai dari mana? Tanya sama yang lebih paham.
Udah nanya, udah baca, tapi masih nggak bisa juga?
Mungkin usahanya kurang maksimal, ulang lagi tahapannya.

Kita bisa kok. Semua memang tergantung cara ngatasinnya, yang beda-beda di setiap orang. Ada yang terus usaha dan nggak mau nyerah, ada juga yang mikir salah jurusan saking susahnya. Padahal intinya kita cuma perlu konsisten untuk menyelesaikan apa yang udah kita mulai. Nggak gampang nyerah kalau nemu kesulitan.

Karena pada akhirnya, yang bisa berhasil bukan yang paling pintar pun yang mulai paling duluan, tapi yang mau bertahan dan berusaha menyelesaikan apa yang sudah dimulainya.

Saturday, January 16, 2016

2016

Memasuki tahun 2015, nggak banyak harapan yang saya panjatkan selain lulus kuliah tepat waktu. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, saya punya beban untuk lulus di pertengahan tahun untuk bisa melanjutkan program fast track. Ngerjain skripsi sambil kuliah S2. 24 jam sehari rasanya nggak cukup; deadline seperti nggak ada habisnya.

2015 mebuat saya cukup banyak belajar. Belajar bertanggung jawab, belajar membagi waktu, belajar untuk berusaha lebih keras, pun belajar menghargai waktu yang saya miliki dengan keluarga dan orang-orang terdekat. Saat ini, setelah melalui banyak hal besar setahun ke belakang, saya bangga dan bersyukur telah berhasil melewati 2015 dengan segala dramanya.

Di tahun 2016 ini resolusi yang saya buat juga nggak muluk-muluk: kurus, mulus, dan lulus.

Ya, saya udah mulai nggak nyaman sih dengan berat badan yang sekarang. Meskipun masih termasuk normal, udah nggak pede pake baju ini itu. Olahraga rutin jadi top list saya tahun ini. Begitu pun dengan urusan kulit wajah. Saya mau lebih rajin untuk urusan skin care routine, sadar untuk nggak nyoba produk macem-macem di kulit yang sensitif ini, dan lebih sering belajar daily make up. Dan, tentu saja, lulus tepat waktu (lagi). Semoga tesis ini bisa selesai sebelum Juni 2016 tanpa banyak drama.

Saya juga masih ingin belajar lebih banyak. Menambah wawasan dalam hal apapun. Saya mau lebih terbuka untuk mencoba hal-hal baru dan lebih banyak bilang "Iya" untuk setiap kesempatan baik yang datang.

Rasanya saya sudah siap menyambut tahun ini dengan segala kejutan di dalamnya.
Jadi, selamat datang 2016!